Setelah lebih dari 15 tahun tinggal di kota besar, Surabaya,
dan hampir menjadi blogger Surabaya, saya menikah dan memutuskan untuk tinggal
di desa mengikuti suami. Jujur, keputusan untuk pindah hidup di desa ini datang
spontan, saya tidak banyak berpikir ulang tentang untung ruginya. Bisa dibilang, nekad pindah saja.
Untuk urusan pekerjaan, saat itu saya memang berpikir untuk
menyudahi menjadi pekerja dan memulai usaha sendiri, menghasilkan cuan dari
rumah. Suami, saat itu sebenarnya tidak terikat dengan tempat kerja, di manapun
bisa bekerja. Bulat Keputusan saya saat itu, saya tetap memutuskan pindah dari
kota dan tinggal di desa.
Ketika saya memutuskan untuk meninggalkan gemerlap kota dan
memilih hidup di desa, saya tidak hanya mengalami perpindahan fisik, tetapi
juga perjalanan emosional dan sosial yang mendalam. Ini baru saya sadari
sesudah saya pindah.
Menata kembali hidup dari kehidupan urban ke keheningan desa
membawa tantangan unik yang membutuhkan ketahanan dan adaptasi. Dalam
perjalanan ini, saya dihadapkan pada realitas baru, mulai dari menghadapi
ketenangan yang kontras dengan kebisingan kota hingga menemukan cara membangun
kembali jaringan sosial di tempat yang “adem ayem”.
Dalam artikel ini, Saya akan menjelajahi lima tantangan
utama yang saya hadapi ketika memutuskan untuk pindah hidup ke desa, serta
solusi kreatif yang dapat membantu saya enata ulang hidup dengan harmoni di
tengah lingkungan yang berbeda. Mungkin cara ini manjur juga buat Sahabat yang
mengalami situasi yang sama.
Tantangan Pertama : Sepi
Tantangan pertama yang sering muncul ketika pindah hidup
dari kota ke desa adalah kesunyian yang kontras dengan kehidupan yang penuh
aktivitas di perkotaan. Jauh dari gemerlap lampu neon dan kebisingan lalu
lintas. Tinggal di desa benar-benar tinggal di lingkungan yang tenang. Saking
tenangnya, walau tinggal di perumahan, tapi suara obrolan tetangga hampir tak
terdengar.
Saya tinggal di sebuah kecamatan di Kabupaten Malang, yang
termasuk kecamatan maju dan “kota”. Ada rumah sakit tipe A, ada rumah sakit
tipe C dan D, ada kampus, ada banyak sekolah dan SMA unggulan plus favorit
sekabupaten, ada beberapa gerai makanan dan minuman franchise, ditambah
beberapa café dan tempat makan yang a la kota. Tentu, hampir semua berada di
pusat kecamatan.
Tempat saya tinggal sebenarnya berbatasan langsung dengan
desa yang maju, terlihat modern dan ada rumah sakit tipe A (rumah sakit jiwa).
Tapi…ya tetap saja namanya desa, jalanan sepi. Keramaian hanya terletak di
sekitar pasar tradisional. Sisanya, sepi-sepi saja.
Tantangan Kedua : Adaptasi Gaya Hidup
Tantangan kedua adalah adaptasi terhadap perubahan gaya
hidup yang lebih sederhana dan terhubung dengan masyarakat. Terbiasa dengan
kenyamanan kota, seperti layanan 24 jam dan beragam pilihan rekreasi, saya yang
pindah ke desa wajib menyesuaikan harapan dan gaya hidup saya.
Dulu dengan mudah saya pesan makanan lewat kurir, pilihan
makanan banyak. Sekarang? Pilihan makanan sedikit, jarak kirim jauh, tarif ojek
online pun bertambah mahal. Pilihan toko yang menjual barang kebutuhan harian
pun jauh lebih sedikit. Banyak barang yang saya beli di pusat kota dan jika
tersedia di tempat saya tinggal, jumlah dan kualitasnya berbeda.
Jika dulu saya sangat konsumtif, karena banyak sekali barang
yang tersedia, terutama makanan dan tempat nongkrong, maka setelah pindah hidup
di desa, kebiasaan ini hampir hilang. Mudah saja, tidak ada lagi yang sesuai
selera saya, jadi saya stop belanja.
Tantangan ketiga : Jaringan Sosial Pertemanan
Masalah yang sering
dihadapi saat pindah hidup ke desa adalah membangun kembali jaringan sosial.
Dalam kehidupan perkotaan, seringkali mudah untuk terhubung dengan banyak orang
sehari-hari, tetapi di desa, di mana komunitas mungkin lebih kecil, membangun
hubungan yang kuat dan berarti memerlukan upaya ekstra.
Dulu, ketika tinggal di Surabaya, mudah bagi saya untuk
mengikuti aneka kegiatan dari segala macam komunitas. Pernah ikut acara
komunitas pencinta sejarah kota, kumpul dengan komunitas polyglot, makan
bersama dengan komunitas bahasa Inggris, nonton film bareng di acara bulan film
Prancis, diskusi dan nobar film dokumenter yang menilik masalah lingkungan,
berjualan di acara Sunday’s market dan banyak hal lainnya.
Semua kegiatan tersebut bisa melibatkan partisipasi aktif
saya dalam banyak kegiatan sosial dan menjalin hubungan baik dengan teman lama
maupun baru. Sementara, sekarang, mencari komunitas dan mengikuti
kegiatan-kegiatan yang bisa menambah pertemanan dan memperluas jejaring sosial
butuh tenaga lebih.
Tantangan Keempat : Infrastruktur
Tantangan keempat yang dapat muncul adalah adaptasi terhadap
infrastruktur yang mungkin berbeda di desa. Dari layanan publik hingga
transportasi, tinggal di desa cukup menantang terutama untuk orang yang
mengandalkan transportasi umum macam saya.
Jika di kota besar saja angkot jumlahnya sudah banyak
berkurang, apalagi di desa. Dulu ketika angkot masih lumayan banyak, masih luas
wilayah yang tidak terlewati angkot. Apalagi kini ketika angkot makin
berkurang. Tak heran, di tiap ujung jalan ada ojek pengkolan.
Tantangan Kelima : Perbedaan Budaya dan Nilai
Mungkin terdapat norma dan tradisi yang berbeda yang perlu
dihormati dan diikuti. Di tempat saya tinggal, kulturnya sangat agamis. Ada
banyak sekali pondok pesantren dan sekolah teologi plus sekolah alkitab di
sekitar tempat saya tinggal. Acara-acara besar isinya kegiatan keagamaan. Di
sisi lain, kebiasaan yang cenderung mengganggu kenyamanan, misalnya gaya pawai
truk bersound system raksasa adalah hal yang wajar di sini.
Solusi Menghadapi Tantangan Hidup di Desa
Lalu, apa solusi atas beberapa tantangan di atas? Berikut
tips dari saya, bisa jadi Sahabat kurang setuju. Jika cocok bisa langsung
diterapkan yam sekali lagi ini opini pribadi.
Pertama, desa memang tempat yang jauh dari keramaian.
Aktivitas pun berhenti di malam hari, tak seperti kota besar yang tak mengenal
jam tidur. Maka, nikmati momen ini dan berikan reward pada diri sendiri. Ya,
reward atas lingkungan yang lebih tenang, jauh dari polusi udara, suara, dan
lainnya.
Memang butuh waktu untuk menyesuaikan. Mencari hobi baru
adalah hal lain yang bisa membantu. Terutama hobi yang erat kaitannya dengan
potensi desa. Bisa pertanian, perkebunan, kuliner atau lainnya.
Kedua, solusi untuk tantangan tentang gaya hidup. Ini
melibatkan pembelajaran keterampilan baru, untuk kasus saya misalnya harus
mulai belajar mengendarai motor. Keterampilan lainnya seperti pertanian atau
praktik berkelanjutan, untuk memastikan bahwa kita dapat mandiri di tengah
sumber daya yang mungkin lebih terbatas dibandingkan dengan kota.
Solusi kreatif dalam menghadapi tantangan ini dapat
melibatkan pembelajaran dan keterlibatan dalam kehidupan komunitas lokal,
sehingga menghasilkan rasa kepemilikan dan keterlibatan yang mendalam. Memang harus kuat mental juga ya untuk memulai dan mencoba, karena tanpa memulainya maka tidak akan ada hasil nyata.
Ketiga, solusi untuk menambah jaringan sosial pertemanan.
Cara yang paling mudah adalah membentuk komunitas sendiri. Undangan bisa
disebar di media sosial, grup WA, dan sejenisnya.
Bagi saya pribadi, saya sudah memulai hal ini, sayangnya
respon sangat kurang. Saya rasa ini adalah salah satu tantangan super berat.
Tak banyak yang punya peminatan sama dengan saya, mungkin ini bisa jadi masalah
juga untuk Sahabat.
Cara lain yang saya lakukan adalah dengan memanfaatkan
teknologi. Saya menggunakan beberapa aplikasi untuk mencari teman yang punya
minat sama dengan saya. Tak hanya menjangkau yang dekat, kegiatan ini juga
memungkinkan saya untuk mendapatkan teman-teman dari negara lain.
Keempat, solusi untuk keterbatasan infrastruktur. Walau
mungkin kita pribadi tidak punya daya Upaya untuk meningkatkan infrastruktur
desa, tapi melibatkan diri dalam pembangunan desa bisa menjadi sebuah langkah
besar. Menjadi anggota aktif Badan Permusyawaratan Desa (BPD, Lembaga
Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD), Posyandu dan lembaga sosial lan, seperti
yayasan sosial atau keagamaan adalah jalan untuk membangun desar termasuk bisa
meningkatkan infrastrukturnya.
Jika cara ini terlalu pelik untuk dilakukan, maka bisa dimulai dengan
lingkungan sekitar. Kemudian mengundang pihak swasta melalui kegiatan CSR nya.
Tentu bukan perkara mudah, tapi juga bukan hal yang mustahil dilakukan, ya kan
Sahabat?
Kelima, solusi atas tantangan tentang perbedaan budaya dan nilai.
Solusi terhadap tantangan ini adalah pendekatan terbuka dan
sensitif terhadap budaya lokal, sambil tetap membawa kontribusi positif dari
pengalaman perkotaan ke dalam komunitas desa.
Sahabat bisa menjadi agen perubahan positif yang:
Memotivasi diri sendiri dan orang lain untuk menjadi agen
perubahan positif dalam membangun hubungan antarbudaya.
Menyebarkan kesadaran akan pentingnya kerjasama dan
pemahaman dalam masyarakat.
Melalui upaya individu. Menjaga sikap hormat terhadap
nilai-nilai lokal dan menghargai perbedaan pendapat.
Membangun toleransi terhadap keberagaman budaya dengan
menghindari sikap prejudis dan diskriminatif.
Dengan kesadaran terhadap tantangan ini dan penemuan solusi
yang kreatif, proses menata kembali hidup dari kota ke desa dapat menjadi
perjalanan yang memperkaya dan memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang
kehidupan dan nilai-nilai masyarakat lokal.
Sebagai penutup, perjalanan menata kembali hidup dari kota
ke desa adalah sebuah petualangan yang penuh warna dan pembelajaran. Tantangan
yang dihadapi, mulai dari meresapi ketenangan pedesaan hingga membangun kembali
jaringan sosial, telah menjadi ujian sekaligus kesempatan untuk pertumbuhan
pribadi dan pengembangan masyarakat. Melalui kreativitas, kesabaran, dan
kolaborasi, individu yang menjalani transisi ini berhasil menemukan solusi yang
menghadapi setiap tantangan dengan keberanian dan tekad.
Dengan demikian, proses menata kembali hidup di desa
bukanlah akhir dari sebuah perjalanan, melainkan permulaan dari babak baru yang
melibatkan kehidupan yang lebih dalam dan terhubung dengan alam serta
masyarakat sekitar. Peningkatan kesadaran akan keberagaman budaya, pembentukan
hubungan yang kokoh, dan partisipasi dalam kegiatan komunitas telah membentuk
fondasi untuk kehidupan yang lebih makna dan bermakna di desa. Dalam menatap
masa depan, semangat dan semangat kolaboratif ini diharapkan akan terus berkembang,
membawa inspirasi bagi mereka yang akan menjalani perjalanan serupa dan
menyemai benih-benih positif dalam setiap sudut desa yang baru.
0 Comments