Dari sekian banyak drama Korea yang sudah saya tonton, salah satu yang sangat berkesan adalah drama yang berjudul It’s Okay That’s Love. Ini adalah drama lawas. Rilis tahun 2014 tetapi relate dengan keadaan zaman kapan pun.
Pemeran utama prianya Jo In Sung, sangat amat
menempel di ingatan saya. Teringat karena apanya ya? Karena acting dan filmnya
yang menghebohkan macam Frozen Flower. Yang saya tahu Jo In Sung adalah actor
handal. Banyak pujian karena aktingnya walaupun di drama romantisnya yang
berjudul The Winter that Wind Blows gagal membuat saya tersentuh (duh maaf koleksi drama saya yang diperankan doi jadul semua)
Tentang It's Okay That's Love
Drama seri It’s Okay That’s Love menceritakan tentang kisah
cinta psikiater wanita dengan seorang penulis terkenal (diperankan Jo In Sung)
yang ternyata seorang psizofrenia tanpa disadarinya. Saya sangat menyukai film
ini. Tidak cheesy seperti drama percintaan lain dan memberikan pelajaran bagi
penonton awam seperti saya tentang penyakit jiwa / gangguan mental.
Diceritakan dalam drama ini beberapa kasus gangguan jiwa.
Walaupun sifatnya didramatisir untuk membumbui drama tetapi kasus-kasus seperti
itu saya percaya ada. Setelah nonton beberapa episode dari drama ini bahkan
saya berpikir bahwa saya mungkin juga mengalami gangguan kejiwaan. Saya rasa
sih belum sampai taraf berbahaya tapi saya merasa bahwa jiwa saya terganggu.
Kecanduan berinternet ria sebelum tidur dan efeknya susah tidur karena pikiran
tidak tenang. Bahkan berusaha untuk tidur saja saya malas melakukannya. Wah
wah…
Jika di dalam drama ini digambarkan otak manusia seperti
puzzle yang tersusun dengan baik dan ketika satu kepingnya saja hilang bisa
menyebabkan gangguan baik yang ringan sampai yang berat. Gangguan jiwa sesungguhnya
sama dengan gangguan jasmaniah lainnya. Hanya saja gangguan jiwa bersifat lebih kompleks, mulai dari yang
ringan seperti rasa cemas, takut hingga yang tingkat berat berupa sakit jiwa
atau kita kenal sebagai gila.
Pelajaran dari drama It's Okay That's Love
Melalui drama ini saya belajar banyak. Pertama, belajar
untuk paham bahwa penyakit kejiwaan sama dengan penyakit fisik lainnya. Orang
yang sakit jiwa adalah pasien yang statusnya sama dengan pasien penyakit lain.
Mereka bisa disembuhkan dan berhak diperlakukan sama dengan pasien penyakit
lain apapun penyakitnya. Semua orang bisa terkena gangguan jiwa sampai sakit
jiwa. Semua orang juga bisa terkena stroke dan penyakit jantung juga kan?
Yang kedua, orang gila di jalanan yang ngomong sendiri itu
sepertinya penderita skizofrenia. Dugaan saya begitu. Dulu saya tidak tahu
mengapa mereka bicara sendiri, tapi setelah nonton drama ini saya tahu bahwa
mereka sebenarnya berhalusinasi. Tampaknya benar-benar ada seseorang yang berbicara
dengan mereka padahal sebenarnya tidak. Perbedaan antara yang nyata dan tidak
sangat absurd bagi mereka. Ah…sekarang saya tahu.
Pertanyaan yang saya ajukan kepada diri saya kemudian
adalah, bisakah saya menerima seseorang dengan gangguan jiwa dalam hidup saya?
Jika pacar berpenyakit jantung apakah kemudian saya jauhi? Jika tidak maka jika
pacar punya gangguan jiwa apakah kemudian saya jauhi? Jika iya maka saya
termasuk orang yang diskriminatif. Oh…saya tidak suka itu. Di drama ini si psikiater
akhirnya menikah dengan penulis yang akhirnya sembuh dari skizofrenia.
Pengobatan dan terapi rutin serta dukungan sekitar membuat penuli s sembuh dan
tetap berkarya walau pernah berskizofrenia. Jadi harusnya saya dan Anda juga
yakin bahwa penyakit jiwa juga bisa disembuhkan dan orang dengan penyakit jiwa
juga berhak disayangi kan?
Stigma pada dengan penyakit kejiwaan mungkin lebih
parah daripada orang dengan penyakit berbahaya lainnya. Penderita penyakit ini
bisa hidup normal dan beraktivitas seperti biasa. Kadang bisa juga kumat, sama
seperti penyakit lainnya. Berulang kali saya mengajarkan pada diri saya sendiri
bahwa penyakit itu sama saja. Mau di badan mau di jiwa semuanya sama. Bisa
diobati, bisa sembuh, bisa tidak. Asal diobati pasti tidak akan semakin parah.
Asal dibantu maka penderita pasti akan merasa lebih baik.
Dulu saya pernah dekat dengan seseorang yang sebenarnya juga
harus mendapat perawatan khusus dari psikiater dan secara rutin ia mengikuti
diskusi dengan support groupnya. Ibunya penderita bipolar. Terkadang saya tiak bisa memahami cara berpikirnya, tapi kadang juga saya menyadari bahwa saya yangg beripikir terlalu rumit untuk hal-hal yang sederhana. Intinya sekarang
saya paham lebih dari sekedar masalah genetik gangguan jiwa dan penyakit jiwa
bisa menyerang semua orang.
Walaupun cerita dalam drama sedikit banyak dibuat mengharu
biru, tetapi saya belajar bahwa cinta kasih dan dukungan sangat diperlukan
untuk membuat orang dengan penyakit jiwa bisa hidup bahagia seperti orang lain. Toh life's a drama kan? Mari belajar dari drama ini untuk lebih menghargai, menyayangi, dan memberikan dukungan bagi teman-teman dengan gangguan dan penyakit kejiwaan di luar sana. Semoga Tuhan selalu merahmati dan melindungi kita semua...aamiin.
0 Comments