Hari Minggu tepatnya tanggal 28 April yang lalu saya kembali
mengikuti acara jalan kaki dari klub jalan kaki Manic Street Walker. Acara ini meninggalkan banyak sekali kesan
buat saya, kesan sebelum, sesudah, dan pada saat acara berlangsung. Bagi saya
pribadi saya sangat ingin mengikuti acara ini karena saya lama tidak
mengunjungi wilayah Kenjeran. Yang kedua alasannya adalah saya ingin makan
lontong kupang (gara-gara lontong kupang saya terkapar hampir seminggu, cerita
lengkapnya bisa Anda baca di sini).
Tinta sang koordinator acara menginfokan acara dilangsungkan di Pura Segara yang awalnya dan seingat saya disebutnya sebagai pura agung. Dia menyebutkan lokasinya di Jl. Memet. Mengingat saya belum pernah tahu lokasi sebelumnya dan bahkan baru kali itu saya mendengar ada jalan di Surabaya yang namanya Jalan Memet, maka saya memutuskan akan naik taxi saja.
Pura Segara di Jalan Memet |
Jadilah hari Minggu pagi saya diwarnai dengan jalan-jalan menggunakan 2 angkutan umum yang berbeda kelas. Naik angkot dulu sampai JMP dan dilanjut dengan taxi. Saya pikir dari JMP Jalan Memet yang dituju dari jalan utama, Jalan Kenjeran , cukup dekat. Ternyata saya salah. Sekitar 35ribu rupiah ongkos taxi yang saya keluarkan.
Briefing sebelum jalan-jalan dimulai |
Aula besar tempat beberapa anak sedang berlatih gamelan Bali |
Peraturan di Pura Agung |
Tempat mengambil air untuk membersihkan diri sebelum masuk pura |
Memulai perjalanan |
Rombongan MSW (Manic Street Walker) terus berjalan melewati Jalan Pantai Ria Kenjeran. Beberapa warung mulai buka dan teman-teman menyerbu gorengan berupa pisang goreng dan cemilan lain yang baru saja matang diangkat dari wajan. Toko-toko yang menjual barang kerajinan dari kerang juga sudah mulai dibuka. Di wilayah itu slogan utamanya adalah sentra kerajinan kerang. Tentunya ada beberapa toko yang menjajakan hasil kerajinan kerang, ada pigora foto, patung-patung kecil yang dibuat dari susunan kerang dan kerajinan lainnya.
Grafiti di tembok pembatas dekat dari Pura Agung |
Pesan moral dalam pantun Artinya: Gabah padi dimakan burung merpati Belum kenyang gabah sudah habis Mencoba narkoba membuat hidup menderita Uang melayang badanpun hancur |
Suasana "hening" di Terminal Kenjeran |
Biawak alias nyambik hasil tangkapan |
Motor dengan biawak terikat |
Jalan Pantai Kenjeran yang panjang, jalanan utama yang saya lewati dalam MSW edisi Kenjeran ini |
Papan penanda, kawasan perkampungan ini ditahbiskan jadi kawasan industri dan kerajinan kerang |
Berbagai kerajinan kerang yang ditawarkan |
Sekolah Dasar Negeri satu-satunya yang saya lihat sepanjang perjalanan menjelajah Kenjeran |
Gang Tambak Deres, lukisan dindingnya menggambarkan suasana perkampungan yang kurang lebih sama (nelayan dan ikannya) |
Semakin saya berjalan searah lalu lintas semakin banyak pula pedagang lontong kupang yang berjajar di kiri jalan. Jajaran pedagang kupang ini bisa ditemukan tidak jauh setelah melewati pintu utama kawasan rekreasi Pantai Ria Kenjeran, atau yang umum disebut Kenjeran lama, karena kawasan Kenjeran baru berada di wilayah lain tempat kita menemukan klenteng peribadatan dengan patung raksasa Dewi Kwan Im.
Pintu masuk kawasan Pantai Ria Kenjeran |
Kupang adalah sejenis kerang laut super kecil yang dimasak dengan kuah bening dan disajikan bersama petis dan irisan lontong. Ditambah sedikit perasan jeruk nipis dan cabai rebus yang dilumatkan rasa kupang yang manis beradu dengan rasa kuah yang gurih. Enak sekali, bagi yang suka tentunya. Di kawasan ini lebih dari 15 pedagang lontong kupang menggelar dagangan. Rata-rata kupang dan semua peralatan makan diletakkan di gerobak yang diangkut di atas sepeda motor. Terpal plastik kemudian digelar di sekitar “warung motor” tersebut. Harganya dipatok sama, 3000 Rupiah per porsi. Setiap pedagang lontong kupang juga menyajikan sate kerang. Yang ini sesuai namanya kerang dibumbu coklat manis dan (mungkin) sedikit dibakar. Kerangnya juga kerang mini bukan kerang besar. selain kupang dan sate kerang ada juga es kelapa muda alias es degan yang menjadi pelengkap hidangan ini. Mengingat tidak semua orang bisa menikmati kupang, yang alergi misalnya, bisa minum es degan untuk menetralisir “racun” kupang.
Deratan pedagang lontong kupang |
Pintu masuk 2 Taman Ria Kenjeran |
Dari pasar ikan kami mulai masuk perkampungan padat penduduk. Semuanya terasa padat, jalan raya yang menyempit, gang-gang yang sempit, gapura pendek di depan gang, dan banyak anak kecil bermain di hari Minggu. Saya masuk di salah satu gang yang berisi tidak lebih dari 15 rumah. Di ujung gang ini langsung laut. Sampah-sampah mengambang di air laut yang hitam bercahaya tertimpa cahaya matahari. Luar biasa, walaupun saya sudah tahu bahwa wilayah Kenjeran bukan wilayah pantai yang indah dan asri tapi tetap saja saya merasa sangat senang dan takjub dengan apa yang saya lihat. Melewati rumah nelayan yang kecil dengan tumpukan alat berburu ikan di teras rumah, pintu bagian samping rumah yang bergambar ikan duyung berdada aduhai, anak-anak bermain di lahan kosong sempit dengan onggokan sampah, jemuran ikan dan bau amis ikan melebur menjadi satu kesatuan yang indah.
Dari gang-gang kecil saya berjalan kembali dan setelahnya saya menemukan tanggul batu-batu di sepanjang bibir pantai yang dulu sepi sekarang penuh dengan pedagang makanan. Kawasan itu sekarang menjadi pusat “hang-out” muda-mudi dan keluarga sambil menikmati aneka jajanan dan makanan yang dijual di sana. Untuk jenis makanan sebagian besar yang dijual adalah lontong kupang, tapi di kawasan ini semua sepakat menjual dengan harga 5000 Rupiah per porsi.
Dari tanggul sebenarnya bisa terlihat perahu nelayan dan sekelompok nelayan yang sedang membetulkan perahunya. Rasa hati sebenarnya sangat kuat untuk berperahu, sayang teman-teman lainnya enggan berperahu. Setelah menemukan sebuah pintu air kecil dan menolak tawaran nelayan yang menawarkan jasa sewa perahunya saya melihat Jembatan Suramadu yang bertengger cantik di seberang. Wah..tidak saya sangka perjalanan saya semakin mendekati jembatan elok ini. Ada hal lain lagi yang saya temukan di kawasan ini setelah lebih dari 4 tahun lalu saya lewati. Ada pasar besar bergedung bagus dengan tulisan sentra pasar ikan….. Tempat ini dijadikan pusat perdagangan hasil laut, tapi nampaknya para pedagang malas meninggalkan lokasi lama mereka berjualan karena lokasi yang baru ini jauh dari Pantai Ria Kenjeran.
Semakin saya berjalan semakin jauh saya masuk ke pemukiman warga. Khas sebagai kawasan perkampungan nelayan di sini saya bertemu langsung dengan kehidupan warga yang tidak lepas dari kegiatan mengolah ikan. Mengiris ikan-ikan kecil yang dikeringkan yang nantinya mungkin dijual sebagai ikan asin di pasar, membetulkan jaring dan bersosialisasi dengan para kenalan di warung-warung kecil sepanjang jalan di gang.
Walaupun hari Minggu banyak anak sekolah berlarian. Rupanya mereka bersekolah di sekolah Islam, madrasah, yang libur di hari Jumat dan masuk di hari Minggu. Baru saya ingat sepanjang saya berjalan hanya satu SD negeri yang saya temui jauh di dekat terminal bemo, setelahnya saya melihat satu madrasah yang sedang direnovasi. Sekolahnya kecil tetapi hampir puluhan siswa berlarian sambil menghabiskan uang sakunya di beberapa penjual makanan kecil. Saya tertarik membeli karena perut cukup keroncongan walaupun tahu betapa tidak higienisnya jajanan tersebut.
Dengan menghirup udara Minggu pagi Kenjeran yang amis saya terus berjalan sampai “ujung” perkampungan. Ternyata tidak ada “ujung” di Surabaya tercinta ini. Saya masih menemukan jalan kecil berbatu yang dipasangi pengumuman bahwa tanah tersebut milik Pemerintah Kota Surabaya dan dilarang mendirikan bangunan di sekelilingnya, bagaimanapun banyak rumah didirikan di situ. Anak laki-laki sekitar 4 orang berlari bertelanjang dan siap menceburkan diri berenang di tambak yang juga tidak bersih airnya. Jalanan kecil yang sepi ini ditumbuhi pepohonan dan semak-semak di kanan-kirinya. Ternyata jalanan ini mengarah ke wilayah yang menjadi milik TNI AL. Ada papan peringatan yang dipasang di sana. Hebatnya jalan kecil yang tampak terpencil ini dilengkapi dengan lampu jalan. Wah..hebat…
Cuaca memang sangat panas dan terik tetapi hembusan angin dan Jembatan Suramadu yang sedikit demi sedikit semakin terang terlihat membuat saya dan teman-teman lainnya berkelakar bahwa kami harus terus berjalan sampai nangtinya mencapai jembatan tersebut. Tentu saja hal itu tidak kami lakukan. Ajaibnya saya bertemu dengan seorang laki-laki yang tidur pulas di atas pohon dan tidak terganggu dengan riuhnya suara kami yang bercengkerama di bawah pohon. Menakjubkan betapa hebatnya dia menjaga “keseimbangan” selama tertidur agar tidak terjatuh dari pohon.
Sedikit rasa mengusik tentang mengapa di jalan kecil berbatu yang saya lewati dipasang lampu jalan akhirnya terjawab setelah di ujung jalan kami menemukan makam yang juga merupakan tempat ziarah ulama besar. Saya tidak pernah mendengarnya, tidak juga salah satu dari teman MSW. Ada beberapa orang tidak lebih dari 7 orang seingat saya yang berada di kawasan keramat tersebut.
Saya memasuki halaman tempat ini yang berbatasan langsung dengan laut (Selat Madura), dari seberang tampak Jembatan Suramadu. Setelah berjalan menjauh dari pintu masuk saya bertemu dengan portal kayu yang tidak tertutup sempurna. Dari portal ini tampak jalan setapak masuk ke dalam “hutan”. Sungguh asyik dan sedikit misterius tempat ini. Rindang sekali di kanan-kiri banyak pepohonan besar dan juga semak-semak, hembusan semilir angin laut makin menambah indahnya siang itu. Dan yang paling menakjubkan adalah bangunan semacam bunker atau mungkin tempat meriam dipicu yang kokoh berdiri di situ. Dipenuhi semak-semak rimbun beberapa teman berusaha naik ke bagian atasnya menaiki tangga yang cukup tinggi.
Bangunan dari beton yang liang pintunya terbuat dari besi atau baja ini kokoh berdiri. Ada beberapa coretan di salah satu dindingnya, artinya salah satu spesies saya pernah “menjajah” puncak bangunan ini. Sayang sekali tidak ada info atau petunjuk tentang bangunan apa itu. Usut punya usut ternyata kawasan ini sebenarnya termasuk kawasan yang terlarang dimasuki karena masih menjadi wilayah TNI. Apalagi setelah saya akhirnya naik ke atas melewati rimbunnya semak-semak yang menakutkan itu, saya takut dipatuk ular, karena saya tidak tahan juga melihat beberapa teman duduk bersantai di atasnya. Belum 10 menit saya di atas ada seorang bapak yang mengusir kami dan menyuruh kami segera turun karena di tempat itu ada “penunggunya”. Haish makin seram saja.
Padahal sekitar 30 meter dari tempat tersebut ada hampir 10 orang pekerja sedang menjemur sesuatu dan mengibas-ngibaskan barang jemurannya. Saya tidak terlalu jelas apa yang dijemur, entah karung plastik, entah apa bendanya seperti bulu-bulu coklat besar yang dihamparkan di antara banyak karung plastik. Mereka berteriak-teriak ke arah saya, awalnya saya pikir mereka melarang saya dan teman-teman naik ke atas bangunan bunker tersebut, tetapi setelah say adengarkan mereka ternyata minta difoto. Oh…ternyata..
Setelah
pengusiran dari salah satu warga, saya dan teman lainnya berjalan keluar
kompleks makam dan menyusuri jalan yang sama dengan jalan awal. Serunya
tiba-tiba hujan deras datang, benar-benar tanpa gerimis di awal. Payung segera
saya keluarkan, teman lainnya berlari mencari perlindungan dari air hujan.
Anak-anak madrasah berhamburan sambil berteriak heboh. Pedagang jajanan di
depan sekolah segera menurunkan terpal menyelamatkan barang dagangan agar tidak
kehujanan. Setelah berteduh hampir 15 menit akhirnya saya berjalan
kembali ke titik awal. Pandangan mata kembali beradu pada penjual lontong
kupang, saya harus membeli untuk dibawa pulang, ikrar saya saat itu. Ikrar yang
nantinya harus “dibayar mahal”.
Setelah berhenti membeli kerupuk ikan dan
keripik kentang berbumbu merah, saya pamit pada Tinta untuk pulang lebih awal
karena saya akan menaiki bemo yang berlawanan arah dengan arah pulang alias
arahnya kembali menuju jalan yang saya lewati saat berangkat tadi.
(Bersambung bagian 2)
0 Comments