Akhirnya sang penyelamat datang, seorang petugas kebersihan datang menyapu. Ketika dia menyapu lantai di dekat kursi saya saya bertanya padanya tentangbus jurusan Borobudur. ‘Sebelah kanan, pintu ketiga mbak belok kanan.” Oh..rupanya saya harus masuk lorong sebelah kanan yang bertulis Parangtritis itu, lurus terus sampai menemukan belokan ketiga yang papannya bertulis Muntilan – Borobudur. Kami pun mengarah ke tujuan, setelah berbelok kami turun tangga. Bus ada di bawah.
Pemandangan sepi terminal dari lantai 2 ruang tunggu terminal |
Suasana di dalam bus jurusan Giwangan - Borobudur |
Bus melewati 3 terminal. Terminal Jombor, di sini saya
melihat bus TransJogja pertama kalinya. Perjalanan lanjut ke Terminal Sleman
dan kemudian Terminal Muntilan. Tentu saja terakhir kami berhenti di Terminal
Borobudur. Semua terminal ini terminal kecil yang tidak ramai. Saya sudah
bersiap dengan jurus tolak tawaran ketika kami akan sampai di Terminal Borobudur.
Belum menyentuh tanah dari atas bus para fans menawarkan jasa mulai becak,
ojek, dan dokar (kereta kuda). Saya sudah belajar dari catatan
blogger lain bahwa dari terminal lokasi candi tidak jauh. Saya menolak dan
mereka tetap mengekor.
“Ayo Borobudur, becak mbak, mister twenty, 20 ribu mbak”
“Nggak pak..” sambil terus berjalan.
Lama-kelamaan
,” Jauh lo mbak, bener saya ga bohong. 10 ribu deh. ayo mbak”
Saya tetap
berjalan menjauh..berniat mencari depot, dan..saya menuju arah yang salah.
“Borobudurnya ke arah sana mbak..” kata tukang ojek. Dari
parkir bus langsung ke arah kiri melewati pasar. Ini juga aneh masa dari terminal tidak ada
penanda arah mana ke candi dan mana ke tempat lainnya. Harusnya penanda arah
dibuat dan ditulis besar-besar termasuk arahnya.
“Mbaknya mau ke mana to kok muter-muter?” Tanya pak ojek. Kesal saya dibuatnya, ngeyel
terus minta dipakai jasanya.
“Cari makan
pak,” kata saya agak ketus.
“Oh..nanti
mbak di pintu masuk candi ada banyak warung, ayo ngojek saja mbak.”
Huaaaaa
emosi. Lagipula pacar tidak berani naik motor jelas saya tidak mau ngojek. Saya
berjalan sesuai “petunjuk” pak ojek. Dan..mana warungnya…oh tidaaaak.kok sepi begini. Akhirnya
saya menemukan satu warung. Dan karena daftar harga dipasang saya jadi makin
percaya diri untuk melangkah. Setelah beberapa pengalaman sebelumnya “ditipu” di warung-warung dengan harga turis
di Jogja saya berketetapan hati hanya makan di tempat yang ada harganya saja.
Saya makan di warung yang bertuliskan Siomay Bandung. Di sebelah kiri jalan kurag lebih 30
meter dari pasar - terminal. Harganya
normal. Rp. 7,000 untuk nasi goreng Rp. 5000,- untuk mi instan dll. Dengan
suasana yang sepi tetap saja 2 3 kali ada bus pariwisata membawa penumpang ke
arah yang akan saya tuju. Oke..saya tidak salah jalan.
Setelah makan kami berjalan ke Candi. Mulai saya lihat bule
bersepeda onthel, bule berjalan..ah ya..ini benar Borobudur batin saya. Di
pintu masuk langsung saya belok ke kiri di jalan setapak setelah diarahkan
petugas parkir. Pintu khusus
pejalan kaki tidak ada dan tidak ada papan petunjuk. Cuma PINTU MASUK, dan
setelah pagar bertulis PARKIR MOBIL, PARKIR BUS PARIWISATA..oalah….
Toiletnya
berbalik 180 derajat dengan di Terminal Giwangan. Toiletnya bersih
walaupun terlihat belum disapu. Mungkin jarang dipakai. Ada kotak sumbangam
sebelum pipis he he. Dari toilet
tersebar puluhan kios cinderamata dan warung, dan… sekali lagi tidak ada
petunjuk jelas loket tiket. Dibandingkan dengan misalnya, WBL di Lamongan yang
juga luas paling tidak di sini pengelola memasang banyak rambu-rambu
peringatan, peta lokas, dan juga yang terpenting appan penunjuk arah.
Yah…clingukan lagi. Saya jalan saja mengikuti orang-orang. Saya tidak tahu mana
barat, timur, dan selatan. Pedagang sudah mulai merayu dan menjajakan barang
dagangan.
Saya menemukan loket bagi turis domestik – rakyat jelata saya
menyebutnya. Tiketnya Rp. 30.000,-. Setelah selesai membeli tiket saya langsung menuju bangunan berdinding
jendela-jendela kaca besar yang khusus untuk turis asing, tempat saya membeli tiket untuk pacar. Sebelumnya saya titipkan tas saya, penitipan
ini dekat dengan bangunan kaca tadi. Dan akhirnya untuk rasa penasaran saya
terjawab. Dari dulu saya penasaran kenapa bule-bule masuk ruangan kaca dan kami
turis local tidak. Jawabannya $20. Ya, $20 harga tiket yang mebedakan turis
local dan internacional. Begitu kaca saya buka adeeeem AC-nya.
Orang-orang bersantai dan nyaman sekali. Wuiiiih kaget saya ketika tiket masuk
bule $20, terakhir saya cek di website setahu saya mereka membayar Rp.150.000,-
ternyata salah. Turis asing membayar Rp. 188.000,- dengan kurs 1 dollar 9400
dipampang di jendela loket. setelah membayar ada petugas yang kalem dengan
setumpuk kain batik. Saya
tidak memakai dan pacar juga tidak mau. Saya tunjukkan saja padanya.
“Silakan
kopi atau air mineral” ujar petugas ini sambil tangannya menyilakan.
What? Gratis kopi atau air mineral? Oalah dapat welcome
drink to ceritanya. Ck ck ck ck memang beda ya 30 ribu dan 188 ribu itu.
Kami juga
melewati metal detector dengan petugas yang ramah, dan setelah keluar dari
pintu ruang kaca beberapa pemandu wisata menawarkan jasa.
Singkat
kata saya berjalan-jalan di tengah teriknya siang. kami lebih banyak duduk
bersantai dan menikmati keindahan Borobudur. Sampai kemudian kami memutuskan
mengabadikan momen dengan jasa tukang foto keliling. Tukang foto ini dari
Koperasi Pegawai Borobudur kalau tidak salah. Biaya tiap foto, dengan pose yang
bisa Anda pilih di koleksi tukang foto, seharga Rp. 30.000,- Saya mencoba
menawar setengah hati. Tidak tega, pak fotografer ini kan mencari nafkah dengan
jujurnya dan dengan skillnya. Bagi saya pedagang yang menaikkan harga dagangan
berkali-kali lipat termasuk yang tidak jujur. dia menunjukkan daftar harga dari
koperasinya seharga Rp.100.000,- untuk 3 kali foto (paket). Katanya satuan juga
boleh seharga yang saya sebut sebelumnya. Akhirnya kami membuat 2 foto dan puas
dengan hasilnya.
Borobudur memang menakjubkan. Saya bergaya sok pemandu wisata mengingat pacar banyak bertanya. Singkatnya saya bilang padanya bahwa "membangun" ulang Borobudur seperti menyusun ribuan keping puzzle. Di banyak bagian candi memang ada batu buatan modern yang disusun bersama batuan asli candi. Pasti karena kepingannya hilang entah di mana, atau mungkin rusak sepenuhnya. Sesekali saya mencuri dengar keterangan pemandu wisata yang sedang menjelaskan tentang candi dan cerita pada relief candi. Untung sekali ketika mendengarkan penjelasan pemandu yang berbahasa Indonesia ataupun Inggris. Giliran pemandu berbahasa Jepang saya cuma terpana kagum, he's so fucking fluent in speaking Japanese ha ha.
Relief pada dinding candi |
Indahnya cerita pada dinding candi. Detil dan sungguh luar biasa kemampuan nenek moyang dalam menciptakan bangunan megah. |
Bagian yang kosong diisi keping batu baru. Entah di mana kepingan-kepingan yang hilang ini |
Batu-batu baru, dengan paku di tengah ditambahkan untuk menopang bagian yang kosong |
Bagian yang hampir aus dimakan usia |
Pada bagian ini terlihat bahwa ada keping batu yang tidak sesuai dengan keping lainnya |
Relief candi yang berusia ribuan tahun |
Cuaca sungguh panas saat itu. Kami tidak banyak melihat Candi. Hampir setiap 20 menit kami duduk. kaki sih masih kuat melangkah tapi sunggu cuaca yang ekstrim panasnya membuat pantat saya ingin rehat ha ha. Satu pesan saya, jangan lupa menggunakan tabir surya (sunblock), membawa topi (lebih baik topi yang lebar) atau payung sendiri, dan bawa air minum secukupnya sehingga tidak dehidrasi. Sebagai catatan di lokasi candi tidak ada penjual minum, adanya toilet ha ha ha.
Setelah kurang lebih 3 jam mengelilingi candi kami menuju pintu keluar. Dari sisi candi ada tulisan EXIT besar-besar. Dan ternyataaa membutuhkan waktu hampir 30 menit mencapai pintu keluar, karena kita akan menangkal rayuan penjual wajarlah jika jadi lebih lama.
Menuju pintu keluar ada 2 museum yang bisa kita kunjungi yaitu Museum Perahu Nusantara dan Museum Borobudur. Saya hanya mengunjungi museum pertama. Yang kedua tidak kami kunjungi karena pacar saya lelah luar biasa. Saya juga sih. Terlebih kami harus mengejar bus dari Terminal Borobudur karena berdasar info bus terakhir berangkat jam 4 sore.
Di sepanjang jalan keluar puluhan pedagang menjajakan barang dagangannya. Pacar saya sampai dengan hebih bilang,"Tidak! Thank you!" kesal juga karena pedagangnya sangat kukuh, tapi bagus juga sih mereka pedagang sejati :) Berikut ada tips yang ingin saya bagi berkaitan dengan pedagang di wilayah Candi Borobudur:
- Jika Anda dari Surabaya silakan datang ke Toko Suvenir Mirota di Jalan Sulawesi. Jangan membeli suvenir di kawasan wisata seperti Borobudur dan tempat-tempat lain di Yogya. Jika tidak pandai menawar Anda akan sangat-sangat menyesal. Atau singkatnya mengurangi energi menawar barang. Lagi pula membawa banyak suvenir tentu berat kan :)
- Jangan membuat kontak mata (eye contact) dengan para pedagang jika tidak ingin terus dikerubuti.
- Mereka akan menawarkan barang dagangan dengan harga 4 sampai 5 kali lipat harga normal. Terus saja berjalan. Semakin lama mereka mengikuti kita harga akan terus dikurangi.
"50 ribu mbak."
"Nggak pak."
"40 deh mbak."
"Nggak pak."
"Ayo mbak mumpung di Borobudur. 30 deh mbak" dan seterusnya
Topi petani alias caping yang dijual ke turis seharga 75 ribu Dengan penawaran alot kami dapat seharga 30 ribu |
- Bolpoin bambu tawar seharga Rp. 5000 untuk 10 buah. 10 ribu adalah harga terendah yang ditawarkan pedagang siapa tahu boleh kurang.
- Arca mini dengan stupa Borobudur, Buddha, dll bisa dibeli dengan harga Rp. 10.000 coba tawar lebih rendah dari harga yang saya dapatkan misalnya Rp.7500,- siapa tahu beruntung.
- Baju-baju batik mending beli di Malioboro atau sekalian di Pasar Beringharjo.
- Caping Pak Tani idola para turis ditawarkan sampai Rp.75,000 untuk turis. Saya mendapat seharga Rp. 30.000 unkuran sedang dan tebal. Di Mirota caping pak tani djual dengan harga Rp.20.000,- saja
- Miniatur Borobudur bisa didapat dengan harga 10-15ribu. Tawar lebih rendah lagi mengingat saya tidak jago menawar.
- Anyaman lukis Candi Borobudur dari bambu bisa ditawar sampai Rp.15.000,- saya tidak membeli tapi seingat saya penjual menawarkan sampai 20ribu.
- Uleg-uleg dan piring batunya ditawarkan 40-70ribu. Beli di pasar saja. Khusus untuk uleg dan piring dengan desain bunga dan desain imut lainnya memang menarik dan setahu saya tidak dijual di kota lain jadi silakan menawar dan semoga beruntung :)
Jalan keluar menuju gerbang memang diarahkan menuju lokasi pedagang. Banyak pedagang menawarkan dagangan dengan muka memelas. Silakan pilih untuk tetap fokus pada rencana perjalanan atau menaruh rasa iba pada pedagang. Seorang ibu pedagang berhasil merayu pacar saya ketika kami duduk makan di warung dekat pusat oleh-oleh. Dia berhasil menjual kipas bambu biasa yang tidak bagus menurut saya. 2 kipas seharga 15ribu. Dia sudah merayu pacar saya dengan menjajakan hampir seluruh dagangan. Pacar saya sudah menolak dengan tegas dan setelah hampir 10 menit dia pun luluh hanya untuk mengusir ibu itu pergi. Setelah pergi..ada pedagang lain, wanita tua juga. Tapi kali ini tidak ada lagi rasa iba.
Saking capeknya pacar saya tidak mau lagi berjalan. Naiklah kami becak ke terminal. Tidak ada lagi rencana naik andong untuk penghematan. Becak 10,000 per orang. Jaraknya dekat tapi kami sudah capek menawar. Sesampai di terminal kami menunggu bus yang belum datang. hanya ada 1 bus di terminal dan itu bukan jurusan yang ingin kami naiki.
Saya bertemu turis lain. Saya tanya dia mau ke kota atau tidak dia mengiyakan. Saya tanya dia tinggal di mana dia bilang di kawasan Malioboro di puat kota. Saya di kawasan pinggir di Jogokaryan. Saya sempat mendapat info untuk turun di terminal Jombor dan lanjut dengan bus ke arah Jogokaryan. Tampaknya tidak semua orang di Jogja familiar dengan angkutan umum. Para bapak dari DLLAJR juga tidak tahu bagaimana cara mencapai Jogokaryan dari Borobudur. Akhirnya saya setuju untuk ngekor bule itu ke Terminal Jombor.
Saya tanya berapa dia membayar dari Jombor ke Borobudur, dia bilang Rp.12,000,- wah saya makin kecewa dengan tarif awal saya dari Terminal Giwangan ke Borobudur yang Rp. 20,000. Menurut saya dari Jombor ke Giwangan tidak mencapai Rp. 8000,- tarif wajarnya. Maklum saya pengguna angkutan umum sejati jadi agak sewot jika tarif dinaikkan semena-mena. Ini belum apa-apa. Ketika kami di dalam bus, bule ini duduk di belakang saya dan pacar kondektur datang meminta ongkos.
Saya tanya, "Turun Jombor berapa?"
"Twenty."
"Nggak pak"
"Twenty, dua puluh" dengan setengah memaksa.
"Lima belas" kata saya
"Ya thirty dua orang."
Giliran bule di belakang membayar dia langsung minta 20ribu jelas-jelas dia tahu saya bayar berapa karena saya duduk di depannya. Bule ini tidak mau membayar 20ribu dan dia bilang sebelumnya hanya bayar 12ribu. Kondektur tetap memaksa. Akhirnya saya bilang fifteen. Dan kondektur pun mau dibayar 15ribu sama dengan saya. Bule ini pun geleng-geleng heran
Inilah yang saya tidak suka. tarif dinaikkan semena-mena. Harusnya ada tarif yang dibuat jelas ke lokasi-lokasi wisata tertentu. Bagi saya citra Indonesia dipertaruhkan di sini. Ketidakjelasan tarif dan tidak adanya pengumuman membuat turis mudah dibohongi. Sungguh memalukan bagi saya yang orang Indonesia. Lebih baik seperti tiket Borobudur yang menulis tarif berbeda untuk turis domestik dan manca negara.
Lucunya mendekati terminal Jombor saya bertanya pada sopir di sebelah kami rute tercepat menuju Jogokaryan. Pak sopir menjawab bahwa saya tidak harus turun di Jombor, saya lupa apa nama tempatnya yang jelas setelah wilayah Gamping. Jadi ketika bule turun di Jombor dia menunggu kami. Saya bilang saya lanjut perjalanan. Kondektur pun menyuruh kami turun, tapi karena sopir memberi tahu kondektur bahwa kami akan turun di tempat lain jadi kami pun duduk manis lagi.
Logikanya karena kami turun di tempat yang jauh dari tujuan awal, Terminal Jombor kami harus membayar ekstra. Saya sudah mempersiapkan uang jika diminta menambah biaya. Herannya sampai saya turun saya tidak diminta menambah ongkos. Bahkan ketika turun kondektur yang tadi memaksakan tarif menjadi orang yang super ramah. Saya yakin pada dasarnya para kru bus ini ramah dan baik hati, tapi yang membuat saya sebal mereka menaikkan tarif bagi turis lokal maupun domestik semena-mena. Karena saya tidak tahu patokan tarif resmi jadi ketika berangkat saya manut saja ketika dikenakan tarif mahal. Pulangnya, tarif berangkat saya jadikan acuan..
Posting selanjutnya...cerita di seputar kota Jogja....
0 Comments